Kamis, 04 September 2008

Prosa

Kitab dan Cermin

CERMIN besar itu tergantung di dinding sebelah selatan ruang tamu. Dua bilah kayu hitam mengerucut di atasnya. Dengan letak dan ukuran semacam itu, cermin tersebut serupa pintu gerbang yang setiap saat siap mengantarkan orang ke dunia asing para roh jahat. Saya tengah menatap cermin itu, menebak-nebak jutaan paras manusia yang telah ditelannya, ketika teman saya, sang pemilik rumah, datang membawa tiga kitab kuno beraksara Arab. “Cermin selalu mengingatkan aku pada wajah hantu,” saya menggumam. Ia tidak menghiraukan gumaman saya. Ia berkata seraya menyodorkan tiga kitab yang dipegangnya, “Ini kitab-kitab yang kaucari itu.” Baca selanjutnya

Esai

TENTANG RIWAYAT PILU KAUM PEREMPUAN
Dari Pentas Tari Okty Budiati

SESOSOK tubuh terbalut kain putih tengah bersujud ke arah timur, menirukan salah satu gaya yoga. Ia bersujud dengan punggung rata bagaikan sebilah anak panah yang terentang dalam busur. Ia diam selama beberapa menit, barangkali sedang bermeditasi, barangkali sedang menyelaraskan detak jantungnya dengan degup jiwa semesta. Musik dengan bunyi-bunyian yang minim mengalun lembut, terdengar seperti suara tangis dan gumam sedih. Beberapa saat kemudian ia bergerak, menggeliat pelan. Baca selanjutnya

Esai

Mimpi, Waktu, dan Metafora

“Sebaiknya-baiknya penceritaan realita, ialah dengan alegori, metafora -- imaji-imaji yang mengalir seperti mimpi, tak nyata, di luar yang nyata….”

-- Nukila Amal, Cala Ibi --

DALAM autobiografinya yang berjudul Memories, Dreams, Reflections, Carl Gustav Jung, pendiri mazhab Psikologi Analitis, menuliskan salah satu mimpinya. Baca selanjutnya

Esai

Kiarostami, Film, Diri yang Gamang

Bukan malaikat, bukan manusia, dan binatang yang culas mewartakan bahwa kita benar-benar tidak betah di dunia yang telah kita urai ini.

-- Rainer Maria Rilke --


PADA mulanya: Taste of Cherry.

Manusia, apa boleh buat, tampaknya ditakdirkan untuk tak kuasa menampik ironi: makhluk yang menggelegak dengan impian atas nasib yang ajek sekaligus kerapuhan menaklukkan teka-teki hidup yang mencekik; sebercak debu yang terlontar ke tengah pusaran jagat yang acak. Maka manusia akan senantiasa direpotkan oleh ikhtiar yang masygul, bahkan mungkin muskil, untuk mengenyahkan rasa gamang, dengan gairah sukacita atau pekat luka, tanpa muara yang mampu membuat hati tenang. Sementara, hidup melaju di luar kendali siapa pun. “Hidup bagai kereta yang terus berjalan,” gumam seseorang dalam Taste of Cherry. Baca selanjutnya

Esai

Manusia Koran Budi Ubrux

BERDIRI di hadapan lukisan, jarak terkadang membangkitkan tipuan visual; menggelembungkan kekacauan optis yang menggelikan. Maka maafkanlah jika saya, pada jarak sekian meter, mulanya menyangka bahwa sebagian besar sosok yang tertoreh di kanvas lukisan dalam pameran tunggal bertajuk “Transisi” di Bentara Budaya Yogyakarta 18 – 23 Desember 2002, adalah segerombolan mumi. Barulah pada jarak satu meter, bahkan tiga puluh sentimeter, saya insaf bahwa sosok-sosok itu adalah orang-orang yang berbalut lembaran koran. Baca selanjutnya

Esai

Borges dan Teka-teki “The Zahir”

Jorge Luis Borges, sastrawan besar Argentina kelahiran 24 Agustus 1899, yang di Indonesia dikenal lewat buku Labirin Impian terjemahan Hasif Amini (LKiS Yogyakarta, 1999), adalah figur yang mempunyai kekuatan untuk membuat orang kepincut. Dengan kekayaan tema dan daya jelajah bahasa yang menebar bius, dengan kegetolan mencipta sastra fantastis lewat prosa mini berjuluk ficcioness, menempatkan filsafat sebagai tak lebih dari cabang sastra, ia sungguh patut diganjar pujian. Baca selanjutnya

Esai

Ideologi

Dunia, siapa pun (barangkali) sepakat, bukan wilayah suci yang tak mengenal kebobrokan manusia; bukan surga tempat orang-orang telah diberkati Tuhan, kosong dari dosa. Di dunia orang berderak dengan impian yang tak selamanya waras, sehingga hidup tak melulu berisi perkara yang luhur. Semua yang pernah melintas dalam sejarah juga sering mencecerkan kenangan buram. Riwayat yang masygul. Baca selengkapnya

Esai

Atas Nama Fiksi


Orang asing itu, di sebuah kuil yang telah dilahap api purba, yang dewatanya tak lagi menerima pemujaan manusia, membaringkan diri dan tidur. Dia tahu bahwa tugasnya kini adalah bermimpi. Mula-mula, mimpinya hanya berupa gebalau; lalu, selang beberapa waktu, berangsur-angsur menjadi teratur. Orang asing itu bermimpi sedang berada di tengah sebuah teater terbuka berbentuk lingkaran; sekerumun murid duduk di bangku-bangku yang berderet panjang. Ia sangat teliti menimbang murid-muridnya, mencari satu jiwa yang pantas disusupkannya ke alam nyata.

Baca Selengkapnya


Prosa

DERAP KAKI RIBUAN KUDA

Zulkarnaen Ishak

-- Mengenang ayahanda alm. Harun Ishak

HARUSKAH AKU -- SEPERTI YANG DIOCEHKAN SOSOK BERSAYAP PUTIH yang rajin menyambangiku di malam-malam ketika mata binatang yang paling awas sekalipun tak sanggup melihat apa-apa -- percaya kepada nujuman? Ataukah kuserahkan saja nasibku kepada belasan pil yang kutenggak setiap menjelang tidur?

Aku tahu, ribuan kuda selalu berderap-derap dalam kepalaku, lalu lenyap tertelan halimun. Mungkin suatu saat aku perlu menunggangi salah satu dari ribuan kuda itu. Memacunya ke tempat-tempat yang tak terjangkau oleh khayalanmu. Tapi sebelumnya, biarkan aku bercerita. Biarkan aku bercerita…. Baca selengkapnya

  © Blogger template 'Isfahan' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP